Silaturrakhim ke Negeri Panda 15
Cuaca hari ini cukup cerah. Kami semua bisa istirahat dengan cukup pulas tadi malam. Kami sudah berpetualang lebih dari 10 hari, sejak keberangkatan dari negeri ini. Begitu juga keluarga kakak, malah lebih dari itu. Mereka telah beberapa hari tinggal di Malaysia ketika kami menyusul kesana.
Hari ini kami akan mengunjungi sebuah museum kota Yinchuan. Kami semua berjalan santai ke Museum itu. Dari kompleks apartemen, menuju arah kiri sampai perempatan sekitar 200 meter. Kemudian kami ke arah kanan agak jauh namun santai saja. Belok kiri di tepi jalan high way, sekitar 1 km, disitulah lokasi salah satu museum yang berada di provinsi Ningxia.
Bangunan besar dengan arsitektur yang sangat spektakuler, seperti bentuk sebuah bunga yang sedang mekar. Tentunya akan terlihat bila dilihat dari atas, karena bunga yang bagus terdapat di atap gedung. Sehingga museum kota itu memiliki daya pikat tersendiri.
Salah satu suku dari 23 suku minoritas, menempati sepertiga wilayah hijau itu. Mereka tersebar di semua lini provinsi Ningxia, dengan berbagai profesinya dengan tekun. Sehingga mendukung kokohnya warna perekonomian serta kebudayaan provinsi di tengah negeri panda itu.
Dengan terpeliharanya kebudayaan kuno yang agung itu, dipandang perlu untuk lebih melestarikan melalui media resmi. Museum merupakan salah satu sarana untuk mengungkap sejarah peradaban dan eksistensi bangsa di masa silam. Salah satunya dengan terbangunnya Museum Suku Hui di ibukota provinsi Ningxia.
Berbagai linimasa kehidupan suku Hui di saat mulainya era jalur sutra, bisa kita saksikan disana. Sehingga tergambarkan, bangsa yang besar adalah yang menghargai sejarah, bisa terwujud disana. Termasuk perjalanan kehidupan muslim di masa silam di negeri panda itu.
Kakak memang sosok ideal dalam memberi informasi yang menyeluruh. Setelah kami dikenalkan bagaimana alur kehidupan, kebudayaan termasuk perjalanan perjuangan perekonomian muslim masa silam, saat ini jam makan siang. Kami diajak makan siang di resto muslim ternama di tengah kota Yinchuan. Tentu saja milik kerabat suku Hui, yang cukup banyak pelanggan dan kami mendapat tempat di lantai 2.
Beberapa sajian khas kami pesan dan santap. Teh dengan sajian khusus dan cangkir istimewa juga kami order. Sate kambing menjadi menu wajib selama kami keliling negeri panda yang ke tiga ini. Meja bundar dan berputar membuat suasana makan bersama keluarga menjadi lebih memikat.
Semua destinasi wisata yang kami kunjungi, surprise bagi kami. Karena kami tidak memilihnya, kami tidak melihat di dumay, kami lebih percaya pada kakak.
Tidak kami sangka sebelumnya, bahwa kami akan mengunjungi masjid. Lokasi agak di luar kota, sekitar 10 km. Wajah gerbang depan masjid, sama seperti gerbang tradisional Mandarin. Dan warnanya pun mengikuti corak alur sentuhan leluhur yang sudah kita kenal.
Halaman depan gerbang cukup luas, dan bisa digunakan parkir untuk puluhan kendaraan roda empat atau yang lebih besar. Di depannya lagi, terdapat taman yang sangat luas, merupakan fasilitas umum, bisa juga sebagai pelengkap masjid. Letaknya berdampingan, kalau kita lihat dari jalan raya, karena masjid tidak menghadap ke jalan raya. Gerbang masjid mengarah ke taman fasilitas umum.
Kami melewati gerbang dan memasuki halaman masjid, cukup luas juga. Tumbuh beberapa pepohonan sebagai naungan yang cukup rindang. Beberapa jamaah masjid menyambut kedatangan kami dengan ramah. Namun kami hanya bisa komunikasi dengan bahasa Tarsan, karena kakak masih di luar. Kami minta info tempat wudhu, karena ingin segera sholat. Agak ke belakang di bangunan sebelah selatan.
Tempat dan cara wudhu mereka sama dengan yang di masjid Dongxi, di tengah kota Beijing pada tahun 2017 yang lalu, ketika kami sholat maghrib dan isya' disana. Dengan posisi duduk, mereka memakai bejana atau teko untuk berwudhu. Padahal di depannya ada kran air yang cukup lancar alirannya.
Kami memasuki masjid yang bahan bangunannya didominasi oleh kayu. Beberapa orang berada di dalam masjid, kami melakukan sholat dhuhur. Karpet berwarna biru terhampar melapisi seluruh permukaan lantai masjid. Tampak tertata rapi dan bersih. Beberapa pilar kayu berdiri kokoh sebagai penyangga masjid dengan nuansa biru ini.
Kami istirahat duduk di bawah sebuah pohon rindang yang yang terletak di depan teras masjid. Semakin lama banyak jamaah masjid yang berdatangan, dan semua ingin berkomunikasi dengan kami. Kakak yang menerjemahkan dan menjawab semuanya itu.
Mereka banyak yang berdatangan, karena akan menunaikan sholat ashar berjamaah di masjid Na Cia Hu itu. Kami dikira dari Malaysia, dan mereka agak kesulitan menyebut Indonesia. Mereka mengitari kami, seperti akan menonton sesuatu yang asing.
Setelah tiba waktu ashar, berkumandanglah adzan. Serta dengan serentak mereka pun masuk masjid secara khidmat. Kami pun masuk untuk mengikuti sholat berjamaah, yang terisi sepertiga masjid. Beberapa saat kemudian datang 3 orang yang tegap, dan langsung menuju ke depan. Itulah imam masjid, yang diikuti seperti ajudan. Dan sholat pun dimulai dengan khusyuk.
Usai sholat dan berdoa secukupnya, satu persatu mereka meninggalkan masjid. Hanya beberapa takmir yang masih menemani kami di halaman depan teras masjid. Kami diperbolehkan dan disilakan untuk menaiki menara gerbang masjid lantai 3, dan kami pun naik.
Sebelum pulang, kami mampir belanja ke seberang masjid untuk membeli cangkir khusus menumpang teh suku Hui seperti di resto halal tadi. Dan kami pun segera pulang.
Sebelum istirahat, kami membeli beberapa macam buah untuk esok pagi agar bisa disantap menemani sarapan. Setelah membersihkan diri, kami istirahat dengan penuh harap, besok bisa menjelajah destinasi lain yang lebih menarik.
Ber Sam bung . . . 16
Semoga kita selalu sehat. (Abk)