Catatan Kisah Asmara Terjalin di Jalur Sutra 15
Semalam kami semua terlelap istirahat. Melepas penat dari aktivitas yang beberapa hari secara maraton kami lakukan tanpa persiapan. Dinginnya subuh mampu menembus kamar untuk membangunkan kami dari nyenyaknya buaian bantal yang empuk serta selimut tebal yang menghangatkan.
Pagi ini kami akan check out dari hotel tengah padang sabana, akan berpindah ke lokasi lain. Kami mengantar ortu untuk melihat kamar pengantin di lantai 2. Kamar dihias dekorasi khas negeri itu yang didominasi oleh warna merah. Tidak lupa juga amplop merah yang dibagikan pada adiknya. Suasana bahagia tampak dari seluruh sudut kamar di lantai dua itu.
Setelah semua anggota rombongan siap, kami berangkat entah menuju kemana kami kurang memahami. Yang jelas arahnya sepertinya kembali melewati jalan saat keberangkatan. Ketika pas di depan kebun bunga yang luas, kami semua sepakat untuk singgah sebentar untuk melihat. Semua tanaman berbunga kuning walau tidak terlalu semerbak wanginya.
Kami semua segera beraksi untuk berfoto ria di tengah lautan bunga yang mekar menguning. Berbagai gaya terekam di beberapa kamera smartphone yang kami miliki. Satu gaya bisa sampai di beberapa kali sesuai jumlah smartphone yang ingin langsung mendapatkan hasil foto.
Disaat kami berfoto ria, datang kelompok lain, yang sepertinya juga muslim dari salah satu suku China. Kami berkenalan dan sempat foto bersama di lautan bunga kuning itu. Kami tidak bisa komunikasi verbal, kecuali oleh terjemahan dari kakak ipar. Ternyata bunga itu sumber makanan lebah sebagai sarana produksi madu. Disekitar kebun bunga banyak diternakkan lebah madu.
Kami tidak lama di ladang bunga itu, karena harus meneruskan perjalanan ke destinasi yang akan kami tuju. Kami melewati gerbang Tembok Besar yang legendaris itu, sebelum memasuki kota ZhangJiaKao untuk makan di resto muslim seperti sebelumnya. Rasa masakan dan bumbu rempahnya lezat dan membangkitkan selera untuk menghabiskan.
Kalau kemarin di padang sabana yang datar, kali ini jalan menanjak dan berbukit, serta jarang terlihat pemukiman. Hanya beberapa rumah bergerombol sedikit, 4-5 rumah kemudian kosong lagi. Pada bukit yang lebih atas, terlihat banyak sekali kincir angin raksasa sebagai PLTB. Sehingga kawasan itu mirip dengan bukit dalam film Teletubbies, hijau berbukit serta terdapat kincir angin.
Akhirnya dari kejauhan sudah tampak beberapa bangunan yang ada Ger nya atau rumah khas Mongolia. Dan ternyata itulah tujuan kami semua. Halaman depan cukup luas dan digunakan sebagai tempat parkir. Struktur tanah berbukit, bangunan penginapan jauh dari jalan raya dan naik setinggi lebih dari 2 meter. Di bagian depan terdapat bangunan Ger, dan kamar tidurnya biasa. Di halaman depan kamar ada seperti gardu untuk ngobrol dan ngopi.
Nyaman sekali, hawanya sudah terasa agak dingin walaupun masih siang. Dan ternyata kawasan itu selalu bersalju pada musim dingin. Hebei, di barat laut Beijing dan daerah itu masih di area ZhangJiaKao. Di belakang hotel di balik bukit terdapat kincir angin raksasa. Benar benar sesuatu banget.
Beberapa menit kami berbenah di kamar, tanpa diduga datang tamu yang lain. Dan ternyata rombongan tamu itu adalah yang sebelumnya bertemu dan berfoto ria di kebun bunga kuning tadi pagi. Mereka berasal dari Hefei, Anhui di selatan Beijing, dalam rangka berlibur dan berwisata.
Pemilik penginapan ini masih kerabat dari mertua kakak. Kami pun membaur di ruang makan maupun di dapur dengan pemilik, walau saling tidak mengerti bahasa. Kami semua menggunakan bahasa isyarat, kecuali kalau istri kakak sempat menerjemahkan.
Di dinding ruang makan terpajang kaligrafi Arabian. Ternyata itu adalah karya anak laki pemilik penginapan yang sejak kecil belajar tentang kaligrafi. Anak perempuan membantu ibunya membuat kue dan masakan yang disajikan kepada para tamu. Para ibu segera akrab, karena berbincang kue yang sedang dibuat oleh pemilik penginapan.
Ber Sam bung . . . 16
Semoga kita selalu sehat. (Abk)