Sekilas Babat di Era Nusantara

drabudik
0

Tugu Babat


Catatan Kisah Asmara Terjalin di Jalur Sutera 2


Babat adalah sebuah kecamatan paling barat di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Indonesia. Kecamatan ini berjarak sekitar 30 Kilometer dari ibu kota kabupaten Bojonegoro di arah barat. Pusat pemerintahannya berada di Desa Bedahan. Pusat kecamatan Babat merupakan kota kecamatan terbesar kedua di Kabupaten Lamongan.


Penduduk kecamatan ini berjumlah lebih dari 75.000 jiwa, yang terdiri dari 37.000 laki-laki dan 38.000 perempuan. Kecamatan Babat terkenal dengan julukan "Kota Wingko", karena di kota ini banyak terdapat industri makanan khas Wingko Babat. Namun selain wingko industri makanan yang dikembangkan di Babat adalah jenang, kerupuk berbahan ketela dan produk-produk lain hasil dari home industri.


Babat era kerajaan 

Desa Babat kecamatan Babat ditengarai terjadi perang Bubat, sebab saat itu Babat salah satu tempat penyeberangan diantara 42 tempat, sepanjang aliran bengawan Solo. Dokumen ini terdapat dalam Prasasti Biluluk yang tersimpan di Museum Gajah Jakarta, berupa lempengan tembaga serta 39 gurit di Lamongan yang tersebar di Pegunungan Kendeng bagian Timur dan beberapa tempat lainnya.


Deskripsi Prasasti Biluluk Tentang Perang Bubat :

Hayam Wuruk dinobatkan sebagai raja tahun 1350 dengan gelar Åšri Rajasanagara. Gajah Mada tetap mengabdi sebagai Patih Hamangkubhumi (Mahapatih) yang sudah diperolehnya ketika mengabdi kepada ibunda sang raja. Di masa pemerintahan Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai puncak kebesarannya. Ambisi Gajah Mada untuk menundukkan nusantara mencapai hasilnya di masa ini sehingga pengaruh kekuasaan Majapahit dirasakan sampai ke Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Maluku, hingga Papua.


Tetapi Jawa Barat baru dapat ditaklukkan pada tahun 1357 melalui sebuah peperangan yang dikenal dengan peristiwa Bubat, yaitu ketika rencana pernikahan antara Dyah Pitaloka, puteri raja Pajajaran, dengan Hayam Wuruk berubah menjadi peperangan terbuka di lapangan Bubat (daerah yang sangat strategis di pinggiran aliran bengawan solo, dan dipastikan 95% lokasinya adalah desa Babat), yaitu sebuah lapangan di ibukota kerajaan yang menjadi lokasi perkemahan rombongan kerajaan tersebut. Akibat peperangan itu Dyah Pitaloka bunuh diri yang menyebabkan perkawinan politik dua kerajaan di Pulau Jawa ini gagal.


Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa setelah peristiwa itu Hayam Wuruk menyelenggarakan upacara besar untuk menghormati orang-orang Sunda yang tewas dalam peristiwa tersebut. Perlu dicatat bahwa pada waktu yang bersamaan sebenarnya kerajaan Majapahit juga tengah melakukan ekspedisi ke Dompo (Padompo) dipimpin oleh seorang petinggi bernama Mpu Nala.


Setelah peristiwa Bubat, Mahapatih Gajah Mada mengundurkan diri dari jabatannya karena usia lanjut, sedangkan Hayam Wuruk akhirnya menikah dengan sepupunya sendiri bernama Paduka Sori, anak dari Bhre Wengker yang masih terhitung bibinya.


Babat era kolonial 

Babat, juga dikenal sebagai Kota Sarat Sejarah yang Jadi Pusat Pemerintahan di jaman Belanda. Babat ternyata tak cuma tersohor karena wingko semata. Kecamatan yang berada di Kabupaten Lamongan ini dulunya adalah salah satu pusat pemerintahan Belanda pada sekitar tahun 1935.


Sederet bangunan tua masih berdiri kokoh di sepanjang jalan Raya Surabaya-Bojonegoro menjadi saksi bisu. Babat dipilih Belanda sebagai pusat pemerintahan karena menjadi titik pertemuan tiga kabupaten, yaitu Bojonegoro, Tuban dan Jombang.


Babat sempat jadi ibu kota Kabupaten Lamongan

Babat, Kota Sarat Sejarah yang Jadi Pusat Pemerintahan Belanda. Selain itu, kota yang berada 69 kilometer sebelah barat Surabaya ini dipilih Belanda karena keberadaan sungai Bengawan Solo. Sungai terpanjang di Jawa yang berada di sisi utara itu memudahkan mereka dalam mengangkut hasil rempah-rempah ke negara asalnya.


Babat pernah berperan sebagai kantor kawedanan atau keresidenan yang membawahi beberapa pemerintahan. Bahkan, dahulunya Babat ini pernah menjadi ibu kota dari Kabupaten Lamongan. Belanda juga mempunyai markas di sejumlah kecamatan di Lamongan, tapi tetap memilih Babat sebagai pusat pemerintahan.


Belanda, saat menjajah Lamongan juga berhasil menguasai beberapa wilayah, di antaranya, Paciran, Sukodadi, Kota Lamongan dan daerah lainnya. Namun dari beberapa kecamatan yang berhasil ditaklukkan, Belanda tidak menjadikan wilayah itu sebagai pusat pemerintahan. Wilayah-wilayah itu hanya dijadikan sebagai daerah pembantu pemerintah, atau istilah saat ini pemerintah kecamatan.


Kondisi gedung bekas Corps Tjadangan Nasional rusak karena tak terawat. Salah satu bangunan peninggalan Belanda yang saat ini masih berdiri kokoh di Babat adalah gedung bekas markas Corps Tjadangan Nasional (CTN). Gedung yang dibangun pada tahun 1935 ini tampak rusak dan ditumbuhi semak belukar karena tidak dirawat. Padahal, gedung tersebut merupakan saksi bisu Agresi Militer Belanda I dan II. Selain itu, gedung ini adalah kantor pusat pemerintahan Kawedanan di Lamongan. 


Ada sejumlah bangunan peninggalan Belanda di antaranya gudang di depan Pasar Babat. Dahulunya gudang itu dijadikan tempat penyimpanan senjata dan ada pula yang mengatakan sebagai gudang penyimpanan beras. Sejumlah bangunan peninggalan Belanda hingga kini masih bisa digunakan


Selain bangunan di atas ada lagi bangunan peninggalan Belanda yakni Rumah Sakit milik Marbrig (Mariniers Brigade atau Koninklijk Nederlandse Marine Korps). Gedung tersebut saat ini difungsikan sebagai kantor Polsek Babat dan kondisinya masih terawat dengan baik.


Ada lagi Rumah Koramil Babat, Gedung Garuda, Stasiun Babat, Jembatan Cincin, Rumah Panggung milik PT KAI. Itu semua merupakan bangunan peninggalan Belanda. Jadi kalau melihat sejarahnya Babat dahulunya merupakan pusat pemerintahan Belanda.

Resize_20220809_082044_4399


Hiruk pikuk Babat memang sudah tersohor sejak dari dahulu kala, jauh sebelum jaman perjuangan kemerdekaan, di jaman kerajaan Mojopahit. Mulai dari perebutan kekuasaan pada terjadinya perang Bubat, sebagai pusat pemerintahan saat penjajahan Belanda serta paling semarak semakin tumbuhnya ekonomi kerakyatan yang menebar, yang terkadang sulit dikendalikan dan tanpa mengindahkan estetika sehingga kurang sedap dipandang. Gambaran seperti itulah yang menyandera pengguna jalan yang melewati pasar Babat.


Setiap pengguna jalan yang melewatinya harus ‘berhitung’ dengan ruas jalan ini, misalnya seperti perjalanan ini terkait tiket yang sudah terpesan. Begitu juga ruas jalan Lamongan dan Duduk Sampean yang sejalur dalam perjalanan ini.


Namun hal ini tidak bisa terhindari oleh keadaan darurat yang menyangkut life saving. Misal bagaimana seorang yang terancam jiwanya saat melalui jalur padat kronis ini walau menumpang ambulan, walau sirine sudah dibunyikan. Tidak adakah solusi untuk mengurai situasi lalu lintas yang sudah berpuluh tahun dengan kondisi seperti itu.


Banyak faktor penyebab kemacetan yang ternyata sangat rendah kepeduliannya terhadap kepentingan publik. Misalnya pedagang yang tidak seharusnya memakan ruas jalan, pengemudi yang seenaknya berhenti atau bahkan parkir yang bukan pada tempatnya dan masih banyak lagi. Mereka tidak mau peduli pada pengguna jalan yang lain, bahkan saling serobot untuk kepentingan dirinya. Semua faktor inilah inti pokok persoalan penyebab kemacetan yang sungguh sulit terpecahkan. Apalagi petugas yang berwenang hampir tidak beraksi, seakan membiarkan dan menyerah pada kondisi yang sudah kronis dan parah.


Kalkulasi waktu perjalanan kami longgarkan menjadi 6 jam, sehingga kemungkinan keterlambatan bisa diminimalisir. Kami harus menuju Denpasar lebih dahulu untuk berkumpul dengan saudara, serta keberangkatan dari bandara internasional Ngurah Rai Denpasar Bali.


Ber sam bung . . . 3


Semoga kita selalu sehat. (Abk)


Sumber : Wiki

Sejarah Babat blogspot

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Check Now
Accept !